#2 10:17

 

 

 

Si pecundang yang kembali menangis disudut kamar,

Dengan lampu yang sengaja dimatikan agar tampak sudah terlelap.

Iya, memang terlelap di jam awal dengan pikiran tenang adalah obat termahal.

Nyatanya, tersungkur memeluk lutut menangisi hal yang dirasa begitu tak adil.

Si fiksi, begitu aku menyebutnya.

Dia muncul dalam dunia nyata dengan sombongnya.

Melangkah dengan angkuh, senyum lebar dan percaya bahwa hidupnya adalah yang paling bahagia.

Dia dapat kebahagiaan ,semuanya yang si pecundang idamkan.

Seolah sial tak pernah menyapa.

Ia tak tahu bengisnya hidup , ia tak tahu manisnya sumpah serapah disela kehancuran , dan pahitnya syukur yang terpaksa ditelan.

Si pecundang mencaci maki dengan renyah.

Berlutut memohon pahitnya hidup segera berakhir , merendahkan diri agar Yang Agung merasa iba.

Namun nihil, sipecundang terlalu realita tuk jadi si fiksi.

Kini si fiksi , menikmati hidupnya dengan akhir bahagia.

Si pecundang bersiap menjadi bangsat yang akan selalu tersungkur memegang lutut disudur kamar gelap , dengan cerita yang masih berlanjut.

 

Komentar

Postingan Populer