SEPUTIH PERNAH


 

Mencoba pulang setelah lelah melarikan diri. Sebuah pelarian yang sia-sia karena aku tahu akan kembali pada memori sedih yang membuat perih. Mau tidak mau setelah kembali aku harus merapikan apa yang telah porak poranda, satu persatu kubuang pesan-pesan terdahulu yang pernah membuat bahagia, yang kutunggu pesannya tiap waktu , kubaca berulang seperti resep hidup bahagia. Aku rapikan lembaran-lembaran memori yang ada , sebuah kenangan itu sudah tercipta dan sayangnya tidak bisa musnah walau dibuang, pun walau ingin. Kusimpan pada satu tempat yang memang khusus tentang kamu agar tidak bercampur pada yang lain, harus aku simpan jauh dan dalam segala hal tentangmu. Aku pernah sangat begitu mencinta hingga akhirnya aku menjadi begitu sangat melepas. Hal-hal yang pernah terjadi tanpa paksaan, kini hilang karena sebuah paksaan takdir. Seringkali aku marah pada waktu , dan pada jalan yang kita lalui. Marah yang teramat bergemuruh dalam hati , namun aku tidak cukup berani marah pada sesosok orang yang nafasnya aku candui, pada kamu yang pernah aku syukuri keberadaannya. Sekali lagi, pulang menjadi hal yang paling menyakitkan , karena sekali lagi aku harus mengingatmu , mengingat kita.

 

Rumah yang aku siapkan untukmu , ruang dihati yang memang hanya untukmu, kini tak pernah lagi terisi tentang kita. Aku harus membereskannya , melepasnya , dan menguburnya. Entah tamu yang datang untuk singgah akan kupersilahkan masuk atau tidak , ataukah kembali kubangun rumah dari luka hingga megah pertanda aku sembuh dari cintamu untuk seseorang yang akan hidup bersama didalamnya. Seputih pernah itu tak bisa aku hilangkan , karena ia memang suci. Seribu pernah yang kita lalui hanyalah momen yang diberi oleh waktu, hadiah yang begitu indah. Meski kini semua itu hanya sekeruh penyesalan yang datang dari ekspektasi yang tidak kupenuhi dan aku buat sendiri , dari hati yang mencoba menahan yang tidak ingin ditahan , dari luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

 

Sejenak aku duduk diberanda, membuka satu buku harian yang isinya selalu tersemat namamu. Pada lembar pertama terisi , “pada malam minggu kau mengajakku makan malam bersama , karena kau lelah baru pulang bersepeda bersama temanmu hingga malam. Jajanan pinggir jalan kita pilih untuk mengisi perut kita, aku bersyukur makanan yang aku pesan masih panas dan kau menawarkan diri memotongnya.hehe lucunyaaa.” Dan masih dihari yang sama , sepulang dari makan aku meninggalkan botol minum , aku terlalu fokus padamu dan terlalu senang pada momen itu. Selang beberapa waktu , pesanmu kembali muncul baru saja kita bertemu kita kembali bertukar pesan. Lembar berikutnya masih tentang pertemuan-pertemuan kita yang kikuk , tentang minuman yang kau pilih , tentang topik yang kita bicarakan , tentang buku yang kau baca dan tentang film yang kau tonton.  Aku menulismu seperti sebuah karya novel remaja yang sedang jatuh cinta. Kututup buku itu , dan menghela nafas panjang. Aku ajukan pertanyaan retorika yang bodohnya kuajukan untuk diri sendiri , yang aku tau jawabannya namun berpura-pura tak mengerti .

“mengapa perjalanan dalam  melepasmu begitu sulit? Tak semudah menutup pintu hati untuk seseorang selain kamu.”

“mengapa aku membiarkan perasaanku padamu layaknya rumput liar diberanda halaman ? meski tak kurawat ia tetap tumbuh.”

“mengapa 8 tahunku mencintaimu , bagimu hanya 8 detik ? tak lama kau temukan pendampingmu saat masih dekat denganku.”

“mengapa aku masih ingin merawat ingatan dan luka ini ?”

“mengapa aku masih mengharapkan kau kembali. Dan jika kau kembali , kau tak perlu mengetuk pintu. Akan aku selalu persilakan masuk. Tapi, sampai kapan aku berderma seperti itu ?”

“mengapa semua itu sulit bagiku tapi mudah bagimu ?”

“mengapa pengakuanku hanya layaknya berita kecil dalam kolom koran harian yang sering kau baca ? atau mungkin kau sudah tidak membaca koran lagi. Tak sepenting itu.”

 

kuhentikan lamunan itu , dan kutinggalkan beranda. Aku ambil buku harian tadi dan memasukkannya dalam kardus yang berisi ratusan lembar kenangan tentangmu. Meski kubakar , hanya menghancurkan lembarannya bukan kenangannya. Maka aku putuskan tak perlu repot dan hanya menutup lalu menyimpannya.

 

Baiklah, setelah kututup pintu ini. Meski namamu kini selalu tersemat dengan kata luka, kau adalah sebuah pelajaran berharga untukku. Seperti sebuah konspirasi yang dulu ada tapi tak pernah ingin aku percayai , bahwa ada cinta yang memang sengaja tumbuh untuk mati , ada sebuah hadir untuk pergi.

Dan itu kamu.

 

Komentar

Postingan Populer