Rafflesia arnoldi : The untold story of mine


Katanya menjadi dewasa itu kita sudah mulai bisa belajar dan memahami bahwa kita bisa memberi maaf tanpa permintaan maaf dari orang itu. bahwasanya mengalah itu lebih bijaksana daripada meneriakan amarah. Gelas emosiku sudah penuh, sudah tumpah tapi orang disekitarku belum tentu dapat menerima emosi yang sekarang aku rasa. Aku melakukan kesalahan besar dalam hidup karena mempercayai beberapa orang hanya karena kita menghabiskan waktu bersama, dan dengan gelar saudara. Aku tidak pernah menyangka bahwa saudara dapat diartikan seburuk ini. Mungkin rasanya akan berbeda ketika orang itu benar-benar orang asing, karena aku tidak mungkin bertemu lagi dengan meraka.

Ditahun ini aku belajar, bahwasanya menjadi dewasa begitu rumit. Ada perasaan yang lebih sensitif, lebih rapuh, ada hubungan yang mudah retak karena bahasa dan karena perlakuan. Aku percaya bahwa aku bekerja keras untuk diriku sendiri, aku mencintai pekerjaan dan waktu yang aku habiskan dengan bekerja keras mengerjakan banyak hal. Tapi bukan berarti, seseorang bisa mendikte bahwa aku tidak bekerja keras, tidak mengorbankan apapun, dan tidak berguna. Apa salahnya dengan pengakuan dan rasa terima kasih karena telah berjuang. Kenapa masih ada pertanyaan apa yang sudah kamu korbankan dalam hidup ini ? maukah kamu berkorban untuk kita ? terlebih, kenapa hanya aku yang harus berkorban sebegitu banyaknya ?

Tidak ada yang salah dalam ekspektasi keluarga, tidak ada yang salah dengan tuntutan hidup, tidak ada yang salah dengan tanggung jawab yang dipikul dipundak. Hanya saja beri aku jeda, beri aku ruang untuk bernafas. Sudah lama aku tidak berkumpul dengan teman-temanku, sudah lama aku mengubur keinganku untuk ini dan itu hanya untuk keperluan lainnya, sudah lama aku melepas cita-citaku hanya demi fokus pada jalan yang sedang aku jalani ini. Aku merasa begitu hebat setelah sekian lama ternyata aku bisa membagi waktu pagi hingga malamku bekerja dan malam menuju pagi aku menulis. Tapi mereka menyalahkanku karena aku suka menulis. Mereka menuduh semuanya aku lakukan di jam kerja dan bahkan aku harus berhenti menulis. Untuk pertama kalinya hidupku diatur sedemikian rupa. Bersenang-senang begitu pun tidak bisa, pikiran kalut beban bertambah sedangkan hakku berkurang. Semua orang berteriak padaku, semua orang mengeluh padaku. Sedangkan aku, tidak bisa mengeluh barang sedikitpun. Mereka bilang aku harus bersyukur, aku harus ceria, aku harus tersenyum dan ramah. Padahal aku tidak bisa, aku harus memendam emosi dan rasa. Memalsukan ekspresiku hingga akhirnya aku tidak mengenal diriku sendiri lagi. begitu banyak yang harus aku pendam karena katanya lagi lagi menjadi dewasa tidak semua harus diceritakan, menjadi dewasa aku harus mengerti bahwa aku bukan pemeran utama untuk semua cerita. Tidak semua orang mau peduli dengan resah dan beban yang aku rasa.

Melihat bunga rafflesia ini, aku mendefinisikan diri sendiri. Bahwa visualku harus nampak secantik itu meskipun pada akhirnya aku menyadari kalau aku bisa saja sebusuk aromanya. Terlalu banyak hal yang harus disembunyikan membuatku mungkin menyakiti orang-orang disekitarku. Aku merasa bahwa hatiku sebenarnya begitu busuk karena menyimpan sedih, marah, kecewa, sedari lama hingga akhirnya membusuk. Hal yang tidak bisa aku tunjukkan meskipun pada orang terdekatku, karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Hanya saja, ada hubungan persaudaraan yang ingin aku putuskan. Aku kehilangan makna saudara dari ketiga orang yang begitu angkuh, yang begitu tinggi hingga selalu saja menginjak, menghina dan merendahkanku. Mungkin salahku juga karena tidak ingin berada dibawah, harusnya aku berada dibawah paling dasar hingga aku tidak merasa ada yang merendahkanku sebegitu rendahnya. Amarah yang tidak pernah mereda, sakit yang tidak bisa disembuhkan. Menangis sepanjang malam, tidak percaya diri, kehilangan motivasi, kehilangan harga diri, merasa pantas dihinakan. Bagaimana kalian bertanggung jawab atas luka dan trauma yang aku rasa ?

Maka maknai aku sebagai bunga bangkai saja.

Aku ingin menulis kata-kata yang paling baik , yang menghangatkan hati yang sudah mendingin menuju beku. Ragu dalam hati selalu menjadi dinding tebal dan kokoh membatasi rasa yang datang, ragu dan takut yang tidak terdefinisikan melebur menjadi partikel kebencian. Tidak, aku tidak ingin lagi mengukir kebencian dalam kata, menggambarkan marah pada aroma,  menusuk pada irama. Bersedih memang tak pernah cukup, amarah tak pernah benar-benar mereda

Lalu bagaimana menenangkan badai yang sedang mengamuk ?

Cukup dengan membiarkan saja hingga hilang bukan?

 


Komentar

Postingan Populer