SKSP 2 : Sekolah Biar Pinter

 


Secangkir Kopi dan Sepotong Percakapan Episode 2 


Sejak kapan kau mendengar wajib sekolah 12 tahun ?

Ada hal yang baru aku sadari Ketika menonton drama korea, dimana anak-anak bersekolah dengan pemikiran masa depan yang sudah direncanakan dengan matang sedini mungkin. Sedangkan aku sendiri sejak kecil Ketika ditanya cita-cita, aku hanya menjawab jawaban template ingin menjadi dokter atau guru. Pada saat itu aku pikir, itulah kunci jawaban dari pertanyaan tersebut. Aku tidak benar-benar memahami apa maknanya, dan bagaimana meraihnya.

Aku bersekolah hanya karena memang diusia sekian aku sekolah, diusia sekian aku sudah kelas berapa, dan tingkatan apalagi setelahnya. Kebanyakan orang tua, menganggap itu adalah prestasi. Bahwa anaknya sudah masuk tk padahal usianya belum tepat, bahwa anaknya bersekolah di sekolah elit, atau tentang anaknya rangking berapa disekolah. Semua terlihat seperti trofi bagi orangtua.

Tapi itu saja masih belum cukup. Sebagian sepupuku masuk bimbel yang bagus dengan fasilitas keren. Padahal Ketika ditanya nilai rapor, nilainya setara denganku yang tidak ikut bimbel. Beberapa lainnya, di masukkan les berenang dan badminton. Ketika kita bermain Bersama, ternyata levelnya sama denganku yang tidak ikut les. Apa aku bisa membanggakannya ? tidak ! mereka justru memandang sinis padaku karena mereka kalah dari seorang anak yang tidak mampu membayar guru secara private. Mereka berkata padaku, bahwa itu adalah keuntungan orang miskin.

Ketika kuliah, aku mendapatkan beasiswa disalah satu universitas. Tadinya aku tidak ingin kuliah karena masih bingung kemana aku harus melangkah sedangkan jadwal akademis tidak bisa ditunda. Aku hanya mengikuti arus, asalkan tidak membebani orangtua aku ambil. Apa aku bisa bangga dapat beasiswa ? tentu tidak. Orang-orang berpendidikan disekitarku, semakin menatap rendah diriku yang menyedihkan. Seorang anak dosen yang tidak di terima kuliah dimanapun, merengek pada ayahnya. Sambil menunjukku dengan jari telunjuk yang tidak sopan ia bilang “ayah, lihat dia saja kuliah. Masa aku belum dapet kampus” sebuah adegan menggemaskan di tengah-tengah ruang keluarga yang sedang makan malam Bersama. Aku yang ditunjuk sedang menata piring dan makanan bagi mereka, seolah menunjukkan “lihat, aku yang seperti babu ini berkuliah”

Apa aku boleh kesal ? tidak!

Seorang dosen yang juga seorang ayah menjawab “memangnya kamu mau kuliah di kampusnya dia? Apa Namanya tadi ? emang ada ya kampus itu?”

Sang terpelajar lain yang berada disana mencoba untuk menghibur sang anak dengan berkata

“tenang aja, kamu kan pinter nanti bakalan lolos kuliah di kampus bergengsi ko”

Aku mencoba tersenyum terbawa suasana menggemaskan yang dilakukan bocah merengek ini. Meskipun dalam hati aku bertanya-tanya, apakah bimbel mahal itu sia-sia karena dia sudah ditolak 3 universitas dan sekarang merengek meminta perhatian. Tanpa melakukan itu pun, tak ada satupun yang menyelamati aku. Karena memang apa yang harus dibanggakan dengan dapat beasiswa dan kuliah di universitas tidak bergengsi ?

Aku tidak pernah lupa, nasihat yang selalu mereka bilang “harus belajar biar pinter” katanya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer