SKSP 10 : Kumpul Keluarga
Secangkir Kopi dan Sepotong Percakapan Episode 10
Setiap kali ada pertemuan, kira-kira dimana posisimu ? ruang
tengah ? ruang tv ? dapur ? atau di pojok ruangan menghindari obrolan,
berpura-pura sibuk, mencari orang yang memang sudah akrab, pura-pura ke kamar
mandi, atau di halaman belakang menyendiri.
Setiap kali ada pertemuan, aku bukanlah orang yang di sambut
berlebihan dengan hangat dan Bahagia lalu langsung diajak mengobrol. Hanya
biasa saja formalitas, salaman, lalu bingung mencari tempat untuk duduk. Khusus
ibuku ia langsung ke dapur, membantu apa saja yang bisa dia lakukan disana
dengan sibuk, karena sadar tidak membawa jinjingan apa-apa yang bisa di
suguhkan.
Kadang aku Lelah dengan pertanyaan, “ehh ini tuh siapa sih
Namanya lupa ?” selalu melakukan perkenalan diri pada mereka yang melupakan.
Aku selalu mengingat mereka semua satu persatu, karena mereka yang harus aku
ingat adalah orang-orang terpandang di keluarga yang rasanya sangat tidak sopan
jika tidak mengingat mereka. Untuk orangtuaku yang biasa-biasa saja dan mungkin
hanya bisa merepotkan, dilupakan bukan hal yang aneh yang harus di ributkan.
Pertemuan keluarga menjadi pertemuan kolega untuk saling
berbagi informasi, dan kerja sama di bidang terkait. Dan ayahku yang tidak
memiliki kepentingan yang sama, lebih senang duduk disamping menyesap rokok
yang selalu di isi ulang mendengarkan acuh, tersenyum kecut, seolah menyimak
padahal merasa muak berada disana.
Aku, sebagai seorang anak-anak yang harusnya ngobrol sama
anak-anak lagi dengan obrolan khas remaja. Terpaksa ikut ibu di pojokan dapur,
karena sepupuku yang kaya, yang kuliah di universitas elit sedang membicarakan
masa depan penting oleh para paman yang menjamin. Entah menjamin, entah
pertukaran setara. Yang jelas, tidak ada untungnya mengajakku yang berasal dari
keluarga biasa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan yang bisa ditukar
untuk membicarakan masa depan cerah, aku langsung di lempar ke dapur menyiapkan
cangkir-cangkir antik lalu menyajikannya dengan hati-hati.
Pernah aku sangat senang, ada yang memanggilku berkali-kali
seolah sangat ingin bertemu dan membutuhkanku. Senyum lebar itu sedikit memudar
Ketika ku hampiri dengan semangat mulai berkata “ambilin air teh dong, haus” kenapa
repot mencariku disaat disana ada banyak orang, bahkan yang seumuran denganku
ada, yang dibawahku juga ada. Apa karena aku hanya pembantu di keluarga ? ya,
hanya itu hargaku dikeluarga.
Seseorang berbincang dengan ayahku, seolah sangat ingin
berbincang sebagai kerabat yang akrab. Tapi isi yang aku dengar hanyalah omong
kosong. Ia memamerkan diri sebagai orangtua, ia kewalahan dengan anaknya yang
selalu meminta hadiah mahal jika berprestasi. Dia bilang “sialnya ia selalu
rangking dengan nilai memuaskan, ya untungnya tiap dia mau sesuatu uangnya ada”
obrolan itu berlanjut dari periode waktu yang berbeda-beda dengan nominal hadiah
yang semakin meninggi. Padahal ia tahu, kadang beli buku paket yang banyak saja
orangtuaku selalu meminta di beli bertahap satu persatu. Sampai akhirnya aku
tidak pernah meminta uang lebih untk buku tapi aku berhemat dari uang jajan
yang di berikan, itupun bagi saudaraku yang lain hanya cukup untuk beli permen
5 yang tidak berharga. Aku khawatir kalau-kalau ayahku berpikir betapa jauhnya
ia berprilaku sebagai seorang ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Apa mereka sungguh-sungguh senang dengan hal itu ? aku ingin
tahu betapa menyenangkannya mengolok orang yang berada di bawah mereka itu.
Bagaimana jika roda berputar, aku yang memiliki segalanya
dan akan aku ceritakan betapa menyenangkannya itu kepada kamu yang bangkrut ?!
Komentar
Posting Komentar