SKSP 9 : Aku dan Orangtua yang Tidak sempurna
Secangkir Kopi dan Sepotong Percakapan Episode 9
Kata sempurna kini semakin klise, jika aku tanya pada
tiap-tiap orang tidak ada jawaban baku akan hal itu. Setiap mata yang menangkap
cerita, telinga yang mendapat dengar, mulut yang berbunyi menjadi saksi pada
penilaian kesempurnaan itu sendiri.
Bagiku, keluarga yang sempurna ialah, orangtua yang rukun
dan harmonis, berkomunikasi dengan baik, saling menghargai, saling mendengar,
saling memahami, bisa berteman dengan anak-anaknya, menjadi sosok yang di
idolakan anak-anaknya. Tentu saja, masih banyak kriteria lain yang bisa di
katakana sempurna.
Keluargaku sempurna, karena kami masih sehat, lengkap, dan
Bersama. Namun soal komunikasi yang terjalin banyak sekali hal-hal yang membuat
kami mudah salah paham. Saling memendam amarah hanya karena takut semakin
buruk, jika teman-temanku tahu banyak tentang masalalu orangtua mereka,
bagaimana mereka bertemu dan bagaimana mereka akhirnya bisa Bersama. Aku takt
ahu itu, mereka tak berbagi kisah seperti itu, entah karena tersipu malu atau
mereka hanya tak ingin menceritakannya. Entah, aku pun ragu untuk bertanya.
Tanpa aku sadari, akupun jadi seperti mereka. Terkadang aku
tidak banyak bercerita tentang apa yang terjadi pada kehidupaku. Mereka menaruh
kepercayaan tiggi padaku, bahwa aku bisa mengatasi kehidupanku sendiri dengan
zaman yang berbeda terkadang pendapat mereka bertentangan dengan yang aku
pikirkan. Tapi kadang, aku iri dengan temanku yang bisa bercerita soal
cintanya, soal persahabatannya, soal masalah-masalah kecil yang terjadi di
sekolah. Kedua orangtuaku
Kedua orangtuaku tidak pernah bertanya bagaimana proses
belajarku yang mereka tanyakan hanyalah dua hal, berhasil atau gagal ?
Sama halnya dengan pergaulan, ada temen atau ngga ? dan
selesai.
Sebagai anak kedua, aku sering kali merasa mendapat
perlakuan berbeda dari anak pertama. Mereka seolah hanya peduli padanya,
ditambah lagi dengan perkataan salah seorang guru yang berkata
sesayang-sayangnya ibu pada anak-anaknya, tapi anak pertama selalu special.
Entah itu aku selalu mendapat barang turunan dari kakak, meminta makanan dari
kakak, atau ibu yang hanya tahu makanan kesukaan kakak. Berapa kali pun aku
merengek rasanya aku hanya di cap anak manja. Setelah itu, aku tidak pernah
peduli lagi mereka tahu kesukaanku atau tidak. Aku hanya menerimanya saja.
Sudah berulang kali, setiap aku merasa kecewa pada hidup.
Aku menyalahkan mereka, kenapa mereka melahirkanku, kenapa mereka
mengabaikanku, kenapa mereka hanya mampu membiayai sekolah kakak, kenapa mereka
tidak dekat denganku, aku yang seperti ini karena ulah mereka yang
memperlakukanku begini, kenapa Ketika temanku bisa memiliki apa yang mereka mau
orangtuanya selalu mampu sedangkan aku tidak.
Tapi, semakin dewasa pola pikirku berubah. Bagaimana jika
mereka pernah berkata dalam hati menyesal menjadi orangtua dengan anak-anak
yang marah padanya. Bagaimana jika sedikit perkataanku menyinggungnya. Aku saja
seringkali merasa tersinggung terlebih oleh orangtua rasanya jauh lebih
menyakitkan.
Butuh waktu yang cukup lama untuku, mengakui bahwa aku dan
kedua orangtuaku bukanlah manusia sempurna. tidak ada satu orang pun yang
menginginkan kehidupan yang tampak menyedihkan. Semua pastilah ingin memenuhi
keinginannya. Tapi hidup bukan sebatas tentang ingin.
Sambil menatap langit-langit, aku berpikir, apa cita-cita
kedua orangtuaku ? pastilah mereka sama ambisiusnya denganku tapi apa mereka
juga menyerah karena keadaan ?
Ternyata menjalin hidup anak dan orangtua adalah bukan
tentang kesempurnaan. Sama seperti menjalin hubungan dengan orang lain, sopan
santun, jujur, berkata halus, dan memperlakukan dengan baik. Karena jujur, dulu
aku berlaku seenaknya hanya karena mereka orangtuaku bukan orang lain. Aku
tidak memperlakukan mereka sama baiknya Ketika Bersama orang asing.
Sekarang, sebisa mungkin aku menghargai waktu bersamanya. Kadang naluri orangtua yang selalu ingin memberi sesuatu walau sedikit, walau dibagi dua mereka memberikannya. Dulu aku selalu menolak dengan alasan, aku ingin mereka mendapatkan seutuhnya tidak usah memaksakan diri mengalah dan berkorban untukku atau aku yang memang sedang tidak mau saja. Tapi aku mulai paham, perasaan memberi yang tulus hanya ingin dibalas dengan penerimaan. Perasaan berbagi dan menikmatinya Bersama adalah momen yang justru paling mahal yang baru aku sadari.
Komentar
Posting Komentar