Separuh Nyawa yang Tertinggal

 


Tanpa menanyakan kabarku, udara pengap masuk begitu saja—menyapa dengan gelagat menyiksa dan bersenang-senang dengan kekesalanku. Debu-debu halus tak mampu bersembunyi dari sinar matahari yang mencuri celah jendela untuk mengucapkan selamat pagi.

tok..tok..tok..

"Siapa?" tanyaku enggan, mata masih rekat dengan rasa lelah.

"Keributan... hehe, bangunlah..." jawabnya dengan nada menyebalkan.

Bahkan pagi ini aku tak bisa lepas dari keributan yang terus berulang, memekakkan telinga dan menghancurkan suasana hatiku.

Sarapan terlezat pagi ini adalah keheningan, dengan sedikit aroma bakar dari kesalahan kemarin yang masih dibahas tipis-tipis. Suara bising dari luar selalu permisi memeriahkan pagi yang biasa saja ini, belum lagi ayam-ayam tetangga yang sudah bikin pening tetangga lain karena kotorannya tanpa tahu malu dikeluarkan di teras rumahnya. Keributan memang suka usil, ia berkelana ke tiap rumah

kasihan, dia mungkin kesepian.

Tunggu sebentar, semoga ibu tidak membuka topik lagi perihal ibu-ibu yang ditemuinya kemarin. Semalam ibu mengobrol dengan entah siapa persisnya aku tak mau tahu, hanya saja suara yang sengaja di nyaringkan itu sampai juga ke telingaku yang berada di dalam kamar. Kalau tidak salah, anaknya baru saja diangkat jadi pegawai tetap di salah satu perusahaan Plat merah yang terkenal itu. Kata-kata dan nadanya tidak diragukan lagi penuh kesombongan tidak bergizi. Sempat terlintas dipikiranku agar ibu langsung saja menutup pintu dan menyalakan televisi keras-keras, tapi tentu saja tidak mungkin. Hubungan antar perempuan itu sensitif, apalagi sudah mencapai status tertinggi menjadi ibu-ibu yang memiliki anak dewasa. Bisa-bisa keributan terjadi tiap hari kalau-kalau ada yang menyulut api lalu disiram bensin, salah satu harus menjadi air, dan Itulah peran Ibuku.

Aku selalu ingin meminta orang menungguku, aku saja masih belum berhasil mengendalikan diriku dari segala kejadian-kejadian yang terjadi. Satu yang pasti, walau tanpa memberitahu siapapun, walau seperti tidak ada dukungan, seperti tidak ada yang memihak. Aku tahu sedang melewati ujian dari bab yang mana, aku tahu salahnya dimana dan bisa memeriksa kertas ujianku sendiri.

Ujian yang paling bebal adalah sebuah perasaan kuat yang merasa aku tidak dicintai siapapun. Aku dipedulikan hanya karena kebetulan aku berada disini, dan bisa diganti siapa saja. Bahkan kata-kata pujian tidak pernah bisa membuatku tersentuh, aku yakin bahwa keberadaanku hanya merepotkan dan tidak penting. Aku mencoba memahami bab tentang “keberadaan” tapi anehnya aku tidak bisa menemukan diriku sendiri yang begitu spesial. Terkadang, aku ingin mendengar seseorang berkata

“berkat kamu..”

“karena kehadiranmu…”

“karena kamu orangnya…”

apa aku selalu keliru bertemu orang, atau akulah kekeliruan itu yang masuk dalam lingkungan yang benar.

Tangan ini masih saja gatal membuka media sosial, sudah di tahan jangan membuka media sosial pagi hari, biarkan aku merasa hidup dulu. Ehh.. dasar bebal. Kali ini yang membuatku kesal adalah, aku tidak turut bahagia melihat pencapaian orang lain, aku merasa bersalah kepada mereka. Hanya karena perasaan kasihan pada diri sendiri, mereka tampak jahat. Tapi akupun tak melakukan kesalahan, atau mungkin kali ini aku tidak tahu salahnya.

Melihat seluruh impian yang aku rahasiakan terwujud oleh beberapa orang yang dulu aku merasa sial karena bisa melihatnya. Ada semacam perasaan tidak tahan, karena aku menginginkannya, aku mengejarnya, lalu tiba-tiba jalanan runtuh. Aku mencoba melompat tapi jaraknya terlalu jauh, mencoba memutar dengan banyak konsekuensi, yang paling parah hampir kehilangan akal. Aku semakin hidup dalam halusinasi sebab realita tak sudi mengantarkan aku kesana.

Tidur dalam hamparan bebatuan tak menyakitkan lagi, sebab yang paling menyakitkan saat ini adalah sebuah pikiran untuk “melepas” apa yang sudah jalani lebih dari setengah jalan, kalau begini terus nyawaku hanya separuh. Aku ingin kembali utuh, tapi tak tahu jalan, dan enggan berjalan mundur kembali ke tempat asal.

Komentar

Postingan Populer